Dr. Ir. H. Marzuki Usman MA tampil sebagai pembicara tunggal dalam acara Seminar Nasional yang diadakan oleh Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Seminar yang mengangkat tema “Membangun Ekonomi Kerakyatan Berbasis Nilai-nilai Religius” ini digelar di Auditorium Kampus UMSU Jl. Kapt. Mukhtar Basri Medan, Kamis (14/12/2017).
Dekan FAI UMSU DR. Muhammad Qorib MA dalam sambutannya mengungkapkan, bahwa Marzuki Usman sesungguhnya merupakan sosok yang tidak asing lagi di republik ini.Beliau, kata Qorib, adalah seorang ekonom kawakan dan pakar pasar modal yang disegani. Selain sebagai intelektual dan praktisi bisnis yang pernah memimpin sejumlah perusahaan, lanjut Qorib, Marzuki Usman juga memiliki karir yang cemerlang di dunia politik.
Qorib membeberkan sejumlah jabatan yang pernah dipegang oleh Marzuki Usman, seperti Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Kabinet Reformasi Pembangunan, Menteri Kehutanan (ad-interim), Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM (ad interim), serta Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya.
Yang lebih menarik lagi, lanjut Qorib, sepertinya belum banyak yang tahu kalau Marzuki Usman adalah seorang yang sangat dekat dengan keluarga Muhammadiah. “Beliau adalah salahsatu assabiqunal awwalun IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah-red),” ujar Qorib.
Qorib berharap, kegiatan majalis akdemis ini bisa memberi wawasan keilmuan dan pencerahan. “Serta menjadi media silaturrahim bagi kita semua, tentu dalam kerangka ketaqwaan kepada Allah SWT,” kata Qorib.
Sementara Wakil Rektor I UMSU Dr. Muhammad Arifin Gultom SH MHum dalam arahannya menyebutkan, bahwa ‘ekonomi kerakyatan’ merupakan tema klasik yang selalu tetap menarik dan menggelitik untuk diperbincangkan. Menurut Arifin, secara sederhana ‘ekonomi kerakyataan’ itu bisa didefenisikan sebagai sebuah sistem perekonomian yang tidak berbadan hukum dan berbasis kerakyatan. “Tujuan dari ekonomi kerakyatan itu adalah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat yang berbeda dengan sistem perekonomian komando, liberal atau neo-liberas seperti sekarang ini,” jelas Arifin.
Namun, kata Arifin, meskipun tema lama, topik ekonomi kerakyatan sesungguhnya tetap penting untuk terus dieksplorasi, terlebih lagi bila dikaitkan dengan nilai-nilai syariah atau relijius seperti yang tercantum dalam tajuk seminar kita hari ini. “Mudah-mudahan kita semua mendapat pencerahan dan wawasan kita bertambah, terutama berkenaan dengan soal ekonomi kerakyatan yang dikaitkan dengan nilai-nilai relejius,” harapnya.
Dalam paparannya, Marzuki menjelaskan, bahwa ekonomi kerakyatan dipahami sebagai suatu sistem yang membuat rakyat sebagai produsen menjadi kaya, dan rakyat sebagai konsumen sehingga dapat menikmati sepuas-puasnya barang, dan jasa yang selalu tersedia. Dari sudut rakyat sebagai produsen, kata Marzuki, rakyat itu dikayakan dengan diberikan tanah, dan ketrampilan serta keahlian. Rakyat oleh negara dibimbing untuk menjadi kaya melalui proyek-proyek percontohan. Dari sudut rakyat sebagai konsumen, karena rakyat kaya, negara menjadi kaya. Karena kaya, rakyat membayar pajak, dan negara menjadi kaya. “Dengan demikian ekonomi dengan sendirinya akan semakin tumbuh dan berkembang, kesempatan kerja menjadi terbuka luas, pendapatan masyarakat menaik, dan pada gilirannya rakyat dapat menikmati sepuas-puasnya barang, dan jasa yang selalu tersedia,” jelasnya.
Istilah ekonomi kerakyatan muncul di Indonesia mulai pada tahun 1931. Gagasan ini dipopolulerkan oleh Bung Hatta dalam sebuah tulisan yang berjudul “Perekonomian Koloniaal-Kapitaal” dalam Harian Daulat Rakyat tanggal 20 November 1931. Gagasan ekonomi kerakyatan yang diusung Hatta, sebenarnya bermula dari reaksi perlawanan ekonomi Indonesia terhadap penguasaan ekonomi oleh kolonialisme-VOC dan cultuurstelsel serta pelaksanaan UU Agraria tahun 1870. Model ini sekarang dikenal dengan ekonomi liberal atau pasar bebas. Saat ini barangkali sudah tidak secara terang-terangan dijajah seperti zaman kolonialisme, namun dijajah melalui sistem ekonomi liberal (kapitalistik).
Namun, Marzuki menilai kondisi selama ini yang berlaku di Indonesia bukanlah ekonomi kerakyatan, melainkan ekonomi liberal dan kapitalistik yang sama sekali tidak pro rakyat. “Indonesia sekarang saatnya hijrah, dari sistem yang tidak mensyukuri nikmat Allah ke sistem yang mensyukuri nikmat Allah. Indonesia hijrah dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pandai, dari dzalim menjadi adil, dan dari letoy menjadi bangkit,” ujarnya.
Selain itu, Marzuki Usman juga sempat menyinggung soal mentalitas ummat Islam sebagai mayoritas di negeri ini yang nota-bene selama ini sangat terbelakang dalam persoalan ekonomi. Menurut Mantan Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, kondisi ini harus segera disadari oleh ummat Islam Indonesia. “Kita harus bangkit. Sudah saatnya Ummat Islam negeri ini berubah dari mustahiq menjadi muzakki. Dari mentalitas tangan di bawah menjadi tangan di atas,” tegas Usman.
Untuk itu, kata Marzuki, dalam melakoni kegiatan ekonomi ummat Islam harus lebih realistis. Ia mengatakan, ummat Islam tidak usah malu dan tabu meniru mentalitas positif dari bangsa-bangsa lain yang faktanya jauh lebih maju, seperti China, Eropa dan lain-lain. “Mereka maju karena memiliki mentalitas dan kultur yang maju dalam ekonomi. Mislanya, mereka dalam bekerja apapun selalu all-out, maksimal, total, fokus dan berupaya yang terbaik. Selain memiliki etos kerja yang tinggi, mereka juga memiliki mental berprestasi. Semua itu layak untuk kita tiru,” sebutnya.
Kepada para mahasiswa, Marzuki berharap supaya mereka selalu serius menuntut ilmu dan semaksimal mungkin bisa meraih prestasi akademik agar kelak mampu menghadapi persaingan dunia yang semakin kompetitif. “Terlebih lagi bila dikaitkan dengan pasar bebas yang mau tak mau harus kita hadapi ini pada tahun 2020 nanti, agar bisa bersaing, maka bangsa ini harus mempersiapkan kualitas SDM rakyatnya. Dan tanggungjawab utama ada di pundak adik-adik mahasiswa,” kata Marzuki. (*)