Oleh : Dr. Muhammad Qorib, MA
Jihad dalam konteks ajaran Islam memiliki arti yang cukup luas dan kerap diperdebatkan oleh berbagai komunitas akademik. Perdebatan tentang jihad menjadi lebih menarik ketika maknanya dibajak ke dalam berbagai nuansa yang bersifat eksklusif dan radikal. Atas nama jihad, seseorang rela menyabung nyawa demi iming-iming kebahagiaan yang bersifat pintas dan instan. Dengan pemahaman yang sangat sederhana dan dangkal, jihad kerap kali digunakan sebagai media pencabut nyawa dan keranjang keresahan sosial.
Membaca Realitas
Akhir-akhir ini, karena perkembangan media informasi begitu masif, jihad yang sejatinya dipahami dan dilaksanakan secara proporsional mengalami defisit makna dan cenderung kering. Tak jarang terminologi jihad melahirkan kegusaran hati dan rasa ngeri yang tinggi bagi berbagai kalangan. Jihad diartikan dengan membunuh atau dibunuh (to kill or to be killed) atas nama agama. Kaum jihadis dipersepsi sebagai kelompok yang diklaim bernalar dangkal, rela melakukan apa pun termasuk membeli kematian dengan cara tak wajar demi predikat sebagai seorang syahid.
Pemaknaan yang terkesan sembrono dan tendensius tersebut semakin kuat karena peran media massa barat, untuk hal ini adalah Eropa dan Amerika beserta semua kerabat politiknya, dalam memberikan dan menafsirkan makna jihad itu. Barat dengan kepentingannya menjadikan jihad sebagai senjata yang terbilang ampuh dalam rangka melumpuhkan akal sehat umat Islam, menstigmatisasi, memecah dan kemudian menancapkan hegemoni di dunia Islam. Akar makna jihad yang semula mulia menjadi kotor, keras dan beraspek sempit. Kesan inilah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Energi jihad menyedot tidak saja aktor intelektual yang kerap berdiri di belakang layar, tapi juga kelompok putus harapan yang terpinggirkan secara ekonomi, pendidikan, bahkan mungkin status sosial. Mereka menjadi eksekutor lapangan. Menurut beberapa informasi, tidak semua yang direkrut menjadi martir memiliki latar belakang agama baik. Ada yang sebelumnya menjadi penjudi, peminum, pencuri, pengangguran dan tersisihkan dari masyarakat. Mereka mendapat tawaran untuk memperbaiki diri. Agar hidup mereka lebih bermakna dan memiliki dimensi religius, maka jihad menjadi semacam kanalisasi demi sebuah kebermaknaan dan bermuara pada kebajikan.
Dengan jumlah yang tidak kecil, anak-anak muda berbekal semangat keislaman tinggi, namun miskin pengetahuan sosial, berdiri di garda terdepan untuk aksi bela Islam. Jihad dalam arti holy war (perang suci) memberi tarikan kuat agar mereka turut bergabung. Mereka ingin merubah tatanan dunia yang cenderung tidak adil dan merugikan umat Islam. Selain itu mindset keagamaan untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahiy munkar menjadi pilihan utama. Sistem sosial barat yang sekuler dan kafir mesti diruntuhkan agar umat Islam jaya. Di tangan mereka, Islam dengan konsep jihadnya yang semula ramah dan penuh harapan menjadi berubah mengerikan dan bersifat mematikan.
Jihad Substantif
Benarkah makna jihad sesempit dan sesederhana itu? Dari segi ruang lingkup, jihad sesungguhnya amalan yang bersifat luas dan tak terbatas. Jihad juga dapat dikategorisasikan ke dalam banyak varian, misalnya; ada yang disebut dengan jihadul fikr (jihad dengan mempergunakan pemikiran), jihadun nafs(jihad dengan menggunakan jiwa dan mengendalikan diri), jihadul mal (jihad dengan menggunakan harta). Meskipun salah satu makna jihad adalah qital(peperangan), namun secara kuantitatif tidak banyak. Disinilah kemudian jihad perlu dan harus dimaknai secara proporsional dan kontekstual.
Sebagai contoh, dalam Alquran dijelaskan bahwa proses perbaikan dan penyucian diri sehingga seseorang dekat kepada Allah disebut jihad (Q.S. al-Ankabut/ 29: 6). Sementara pada ayat lain ditemukan bahwa termasuk dalam kategori jihad adalah membantu kaum dhu’afa dalam bentuk advokasi ekonomi (Q.S. As-Shaf/ 62: 11). Di sini terlihat jelas bahwa jihad tidak mesti terkait war(peperangan) antara satu pihak kepada yang lain. Jihad lebih terletak padamujahadah (kesungguhan) dan pengorbanan untuk menyelamatkan kehidupan pihak-pihak yang membutuhkan.
Secara kebahasaan, jihad seakar dengan jahd atau juhd. Kata tersebut mengandung makna kesungguhan, keletihan dan kesukaran. Dapat dimengerti mengapa lapangan jihad demikian luas. Jihad dapat dilakukan di berbagai bidang. Jihad tidak boleh dikebiri menjadi aktifitas sempit dan statis. Jihad sesungguhnya aktifitas yang bersifat dinamis dan mencerahkan. Jika sebuah aktifitas, tentu yang sejalan dengan Alquran dan As-Sunnah, dilakukan dengan sungguh-sungguh, pelakunya merasa sangat letih dan dicapai dengan cara yang tidak mudah, maka itulah sesungguhnya jihad.
Untuk bangsa Indonesia, jihad tidaklah tepat jika dimaknai dengan qital. Ketidaksesuaian ini tentu terkait dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berada dalam situasi dan kondisi yang aman dan damai. NKRI menuntut umat Islam menjadi mujahid-mujahid yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, jihad mesti sejalan dengan realitas masyarakat. Ada dua problem mendasar yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini, yaitu; kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan terkait dengan aspek ekonomi dan kebodohan terkait dengan aspek pendidikan. Jika jihad harus diartikan perang, maka perang dalam hal ini adalah tindakan radikal melawan kemiskinan dan kebodohan.
Mencermati masalah tersebut, maka pemberian beasiswa bagi anak-anak kurang mampu menjadi kebutuhan mendasar. Untuk hal ini, umat Islam mesti memenuhi panggilan jihad dalam bidang pendidikan. Secara kuantitatif, umat Islam dapat dibanggakan, namun keunggulan kuantitatif tak selalu berbanding lurus dengan kualitas yang dimiliki. Secara natural, generasi muda Islam memiliki potensi yang besar untuk maju, namun hal ini sering tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, akhirnya potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan baik. Semangat iqro’ (bacalah) sebenarnya mengandung pesan moral tentang arti pentingnya jihad dalam aspek pendidikan ini. Tak ada sejarah bangsa-bangsa maju di dunia ini tanpa diawali kemajuan dalam aspek pendidikan.
Demikian pula jihad dalam aspek ekonomi, menjadi sebuah aktifitas sakral bagi umat Islam. Dari 261 juta penduduk Indonesia, menurut informasi Badan Pusat Statistik (2017), 26,58 juta (10,12%) hidup di bawah garis kemiskinan. Dapat diduga, dari jumlah itu sebagian besar adalah umat Islam. Jika pada lapisan elit ekonomi umat Islam berkembang pemeo, “Hari ini akan makan dimana dan makan dengan menu apa, bahkan mungkin makan siapa”, tak sedikit umat Islam yang lain juga memiliki pemeo, “Hari ini tak tahu akan makan apa”. Kenyataan pahit ini memanggil para mujahid ekonomi untuk mengatasi minimal mengurangi angka kemiskinan.
Fenomena getir dan menyesakkan dada mestinya dapat dihempang dan ditekan semaksimal mungkin. Dapat dibayangkan betapa serombongan anak kampung menuju sekolah, tidak saja berjalan belasan bahkan puluhan kilo meter, mereka juga mesti menyeberangi sungai berarus deras di atas sebuah tali yang rentan putus. Tentu saja nyawa taruhannya. Belum lagi di saat musim hujan tiba, mereka sampai ke sekolah dengan baju yang basah kuyup dan perut yang kembung. Di pundak merekalah nasib bangsa dan umat Islam ke depan diamanahkan. Apa jadinya jika pendidikan mereka tidak memadai, tentu saja wajah umat Islam Indonesia ke depan akan suram.
Tak hanya itu, potret buram umat Islam juga dinarasikan oleh para orang tua yang sudah sepuh dengan bakul dagangan di punggungnya, atau berdagang sayur dan buah-buahan yang sudah layu. Hal tersebut turut serta memaksa mata ini sembab karena tak kuasa menahan kesedihannya. Recehan uang kecil dikumpulkan demi sesuap nasi di tengah raksasa kapitalisme yang melahap kehidupan mereka. Dengan demikian, makna jihad yang segar menjadi suluh penerang di kegelapan dan harapan terhadap masalah yang menerpa. Jihad bukan sekedar teriakan suci dan bunuh diri atas nama Tuhan, melainkan aktifitas mulia untuk menghilangkan rasa haus dan lapar pada aspek ekonomi, atau mencerdaskan otak-otak umat Islam pada aspek pendidikan. Wallahu a’lam.