Oleh: Dr. Muhammad Qorib, MA
Ibadah haji selain mensyaratkan kesiapan mental juga kesiapan finansial yang tidak kecil. Kedua kesiapan itu mesti diiringi oleh kejujuran dan kesabaran. Kejujuran diperlukan karena calon pelaksana haji harus membersihkan semua fasilitas yang digunakan untuk ibadah haji. Tidak etis menunaikan ibadah haji dengan harta yang remang-remang, apalagi haram. Demikian pula dengan kesabaran. Antrian haji dapat memakan waktu lima, sepuluh bahkan lima belas tahun pasca mendaftar haji. Penantian itu tak mungkin dapat dilakukan jika calon pelaksana haji tidak membingkainya dengan kesabaran.
Daya Tarik Haji
Alasan yang terbilang logis mengapa secara kuantitatif jumlah jamaah calon haji meningkat, sesungguhnya terletak pada harapan teologis. Balasan yang diberikan Allah kepada peraih haji mabrur adalah surga, selain dapat melaksanakan wisata ruhani alias jalan-jalan ke luar negeri. Tentu saja ini menjadi dorongan kuat bagi setiap Muslim untuk melakukannya. Alasan psikologis juga memberikan andil yang tidak kecil. Dalam konteks ini, keislaman seorang Muslim dirasakan kurang lengkap tanpa rukun Islam kelima itu. Badalhaji, terlepas dari perdebatan hukumnya, menjadi salah satu bukti faktual betapa orang rela mengeluarkan dana untuk orang yang sudah wafat demi haji.
Meskipun tidak ada dasar hukumnya, orang yang sudah melaksanakan ibadah haji merasa senang dan bangga jika di depan namanya terletak huruf “H”. Ini pertanda bahwa orang yang bersangkutan sudah menunaikan ibadah haji. Pemberian predikat ini tidak salah, justru melahirkan tuntutan moral agar orang yang sudah melaksanakan ibadah haji menjadi uswah hasanah (suri tauladan) di tengah masyarakat. Secara sosial, hal ini menjadi alasan lain mengapa ibadah haji melahirkan kekuatan magnetik. Pada konteks ini, ada kepuasan sosial dan rasa memiliki status terhormat jika haji sudah ditunaikan.
Ibadah haji merupakan panggilan Allah. Orang-orang yang menunaikan ibadah haji disebut dengan Dhuyuufur Rahmaan (Tamu Allah Yang Maha Pengasih). Allah adalah Zat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, panggilan Allah bersifat suci. Para pelaksana haji mesti mensucikan dirinya, baik lahir maupun batin. Zat Yang Maha Suci hanya dapat direspons oleh sesuatu yang suci pula.
Oleh karena itu, etape-etape pelaksanaan haji mesti suci, mulai dari niat, rangkaian ritual sampai material yang digunakan, semuanya mesti suci. Ibadah haji tidak mungkin membuahkan hasil maksimal jika Allah Yang Maha Suci didekati dengan persiapan yang remang-remang, apalagi haram. Inilah di antara poin penting yang mesti menjadi atensi para kafilah haji itu.
Alquran menjelaskan bahwa al-haq (kebenaran) tidak mungkin terintegrasi dengan al-baathil (kebatilan) (Q.S. Al-Baqarah/ 2: 43). Haji merupakan ritual yang suci, ia tidak mungkin bercampur dengan niat, pelaksanaan, fasilitas yang batil. Dengan kata lain, haji adalah kutub positif. Haji hanya dapat menyatu dengan hal-hal yang positif pula. Jika haji yang positif dicampuradukkan dengan niat, cara, fasilitas yang negatif, maka yang lahir hanya kesia-siaan saja.
Waktu, tenaga, pikiran, dan biaya besar yang sudah dikeluarkan tidak melahirkan keuntungan, sebaliknya kerugian yang diterima. Hajinya hanya sebatas simbolisme agama, namun kering pemaknaan. Haji yang kering makna terlihat dari perilaku yang tidak semakin baik, malah lebih pro kepada kemunkaran.
Menangkap Semangat
Rangkaian ritual haji mengandung ribuan makna. Para pelaksana haji dapat melakukan perenungan pesan-pesan di balik ritualisme simbolik tersebut. Tahun ini saja, diperkirakan ada sekitar enam juta umat Islam yang berkumpul untuk melaksanakan haji, 221.000 di antaranya berasal dari Indonesia. Jumlah yang demikian besar itu berasal dari suku, bangsa, bahasa, budaya dan negara berbeda di seluruh dunia ini.
Keragaman tersebut masuk dalam sebuah melting pot (titik lebur) yang satu, yaitu sama-sama menjadi tamu Allah. Status sosial yang kerap membedakan rakyat biasa dengan bangsawan dan raja-raja seperti yang selama ini menjadi berhala harus dihapuskan. Radius pergaulan yang dibangun bukan antar kampung dan antar kota seperti yang selama ini dilakukan, melainkan pergaulan manusia global (global friendship) dengan karakteristik yang tidak sama.
Dengan demikian, ibadah haji dapat mendeskripsikan persaudaraan umat Islam universal. Ka’bah sebagai bangunan suci menjadi magnet spiritual yang dapat menarik jutaan umat Islam untuk berputar mengelilinginya. Siapa pun ia, pasti akan melakukan ritual yang sama dalam haji. Haji mempertemukan umat Islam dan menampilkan persaudaraan paling besar secara langsung dibanding ritual-ritual lain. Inilah implementasi dari ukhuwwah (persaudaraan) yang secara eksplisit dijelaskan dalam Alquran (Q.S. al-Hujurat/ 49: 10).
Salah satu problem terbesar umat Islam adalah lemahnya implementasi persaudaraan ini. Di antara kawasan yang paling banyak terlibat konflik adalah negara-negara Islam di Timur Tengah. Mulai dari perang saudara sampai campur tangan asing turut serta memporakporandakan bangunan persaudaraan antar Umat Islam.
Banjir darah dan air mata menjadi lukisan harian yang dimaklumi, belum lagi jutaan nyawa telah melayang sia-sia. Ukhuwwah yang semestinya menjadi rumah besar hanya indah pada tataran ajaran saja namun lumpuh dan terkadang buta secara total pada tataran praktis. Ini terjadi pada masa klasik dan diwarisi secara berkelanjutan hingga kini. Jamaah haji yang cukup besar itu diharapkan dapat menjadi duta-duta persaudaraan sekembalinya mereka ke negara masing-masing.
Tak terkecuali di Tanah Air, benih-benih ketegangan bahkan mungkin konflik berpotensi terjadi, meskipun diharapkan tidak benar-benar terjadi. Peluang ke arah itu dapat dilihat minimal di wilayah virtual. Respons kebencian, aksi saling serang, berbagai predikat yang menyudutkan antar sesama umat Islam kini menjadi materi perbincangan harian.
Hal ini semakin subur menjelang pesta demokrasi terbesar di tanah air, yaitu Pemilihan Presiden, Legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah secara bersamaan. Standarisasi persaudaraan sering ditentukan oleh kelompok yang punya interest (kepentingan) sama. Jika ini terus berlanjut dan bergulir liar, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi Timur Tengah selanjutnya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kuantitas jamaah haji yang sangat besar. Jutaan umat Islam yang terdiri dari sekumpulan satuan-satuan kecil disadarkan sebagai warga internasional. Mereka diharapkan dapat belajar dari keragaman latar belakang yang dimiliki, bukan memaksakan secara radikal agar latar belakang seseorang diterima orang lain. Warga internasional meniscayakan heterogenitas, bukan homogenitas. Inilah implementasi dari ta’aaruf (saling mengenal) itu (Q.S. Al-Hujurat/ 49: 13).
Ta’aaruf melahirkan sikap saling mendengar dan belajar, bukan keinginan untuk terus didengar dan dimengerti. Ta’aaruf juga mensyaratkan sikap toleran, lapang dada dengan berbagai perbedaan, berpikir dan bertindak tidak hitam putih, melainkan penuh dengan pertimbangan matang dan menggunakan perspektif yang luas. Ta’aaruf dapat memperkaya cara pandang para pelaksana haji.
Bibit ketegangan di masyarakat disemai oleh perasaan benar sendiri dengan menegasikan eksistensi orang lain. Kehadiran orang lain dan latar belakang berbeda dianggap bukan sebagai energi positif untuk turut serta menguatkan bangunan yang sudah ada, tetapi dikhawatirkan menjadi sebuah ancaman. Rasa khawatir yang melewati tapal batas seperti ini mestinya dikikis dan dibasmi habis dengan respons positif lewat ta’aaruf tersebut. Haji akan sangat kehilangan makna, jika pelaksananya tidak mendapat pengetahuan baru dan hanya tenggelam dalam keasyikan ritualisme yang sempit.
Pelaksanaan ibadah haji dapat diumpamakan seperti kajian Islam secara teoritis dan praktis. Meskipun secara ritual ibadah itu berakhir, namun secara moral semangatnya harus tetap dirawat dan dihidupkan, tidak hanya dalam konteks moralitas individual tapi juga moralitas publik. Haji bukan hanya sekedar ibadah ritual yang terpenjara ruang dan waktu, melainkan ibadah lintas ruang dan lintas waktu yang semangatnya mengakar pada realitas. Wallaahu a’lam.