Para Sahabat, pada saat sholat, mengapa dahi lebih rendah dari buah punggung?. Ketika datang ke dunia, manusia tidak memiliki apapun kecuali potensi asasi yang diberikan Allah. Sering karena keberuntungan, kecerdasan mengelola potensi, dan kesempatan yang didapatkan, manusia meraih apa yg menjadi impiannya. Keadaan tersebut menjadikannya mewujudkan rupa-rupa keinginan dan memberinya serangkaian gelar: kaya, pintar, cerdas dan jenis standar keduniaan lainnya. Disinilah arogansi individual mulai bergerak menujukkan dominasinya.
Para Sahabat ingatlah, setinggi apapun sebuah jabatan, sekaya apapun seseorang, secerdas apapapun tata kelola nalar, tetap saja diujung kehidupannya setiap orang akan berpredikat sebagai seonggok jasad lengkap dengan catatan masa lalu yang diingat orang.
Hidup manusia akan selesai cepat atau lambat, tergantung pada ke-Mahabaikan Allah. Jubah keangkuhan hanya milik Allah, tak layak dikenakan. Sering karena sampah ruhani tersebut kita kecilkan orang lain, kita semburkan sumpah serapah dari lisan yg sedang berkuasa, kita hinakan orang-orang yg lemah, kita bodohi kaum awam yg butuh bimbingan.
Lihatlah ketika sujud, bukankan dahi lebih rendah dari buah punggung? . Itu artinya bahwa boleh jadi pada suatu masa, diri kita yg berpredikat tinggi berpeluang untuk menjadi kaum rendahan dan hina sbgmn mereka yg pernah kita perlakukan sama. Tak ada yg dapat kita banggakan. Satu saat rupa-rupa kepemilikan yangg sering kita pertontonkan cepat atau lambat akan pergi menjauh dari kita. Semua tinggal cerita. Cerita duka yang digerogoti waktu. Tak ada yang bertahan kecuali perubahan itu sendiri.
Perubahan dari hidup ke mati, dari kaya ke miskin, dari banyak teman ke kesendirian, dari puja puji ke kehinaan. Kata Rumi, Sufi besar itu, “Ambillah segenggam tanah lalu renungilah, sesungguhnya dari tanah itu engkau tercipta dan kepadanya engkau akan kembali”. Selain nasehat Rumi, telisiklah analogi dahi dan buah punggung itu. Sederhana namun kaya makna.
Mari kita lepaskan jubah kesombongan dengan busana rendah hati. Dengan itu, kita akan senantiasa dekat dengan Allah dan humanis kepada sesama manusia. Tak akan ada kenangan yang diingat orang kecuali tapak-tapak kebaikan yg kita tinggalkan.